Manusia
di manapun, baik mereka yang lebih dulu hadir ke dunia maupun yang akan datang
kemudian, tidak pernah terlepas dari penyakit lalai (alpa). Bagai peristiwa
sambung-menyambung, sifat alpa per-tama telah dilakukan oleh Nabiyullah Adam as
dan Siti Hawa dengan memakan buah Khuldi. Maka tepatlah sebuah ung-kapan yang
berkata: “insan ashluhu nisyan”, asal kata insan adalah `an-nisyan (alpa).
Ungkapan lain mengatakan: “insan mahallul
khato wan nisyan”, pada diri manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Akibat kealpaan itu,
manusia dapat terperangkap melakukan kesalahan, pelanggaran, sampai kepada
kejahatan.
Tingkat pelanggaran dalam
Islam dikenal dengan istilah `maksiat'. Setiap orang dengan kealpaannya itu
dapat setiap saat terperangkap pada jurang kemaksiatan. Hanya para Nabi dan
Rasul saja yang terpelihara dari sifat tercela itu,lantaran mereka adalah
utusan Allah yang dikenal memiliki sifat makshum (terpelihara dari
kemaksiatan).
Satu hal yang juga fitrah
dalam diri manusia adalah adanya kecenderungan mereka pada perasaan kebenaran (recht-gevoel). Istilah itu bisa pula berarti `perasaan hukum'. Manusia dalam
keadaan bagaimanapun selalu diliputi oleh hukum dan berhajat kepada hukum.
Mereka ingin menegakkannya, walaupun terkadang tuntutan hawa nafsu bersikeras
menolaknya. Kalangan ahli hukum menyebut hal ini sebagai `hukum ada di
mana-mana'.
Oleh karena perasaan ingin
tegaknya hukum itulah, manusia berupaya untuk mewujudkan keamanan,
ketenteraman, dan ketertiban untuk diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan
demikian akan terwujud aturan main kehidupan yang dapat berbeda dengan
binatang, di mana yang kuat dapat dengan sesuka hatinya menguasai dan memakan
si lemah.
Kehadiran utusan Allah
yakni para Nabi dan Rasul dengan dilengkapi kitab suci-Nya tidak lain adalah
untuk menjelaskan kepada manusia agar tidak terjadi hal yang demikian itu.
Manusia bukanlah hewan yang dengan seenaknya bisa saling memangsa satu sama
lain.
Mereka menjelaskan jalan
mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh. Di sini agama memberi
peringatan `amar makruf nahi munkar' dengan turunnya utusan-Nya itu. Kepada
mereka yang melanggar, Allah Swt memberi sanksi hukum kepada mereka berupa
dosa. Sedang kepada mereka yang berbuat kebaikan Allah akan diberi ganjaran
pahala.
Dosa dan pahala
Tidak ada salahnya kita
mengkaji ulang apa yang dimaksud dosa dan pahala. Ini bukan perkara sepele.
Bukankah keduanya selalu berkaitan dengan kehidupan kita? Efek-efeknya
senantiasa menyertai kita kapan dan di manapun juga? Akibat perbuatan dosa,
kita menjadi murung, sedih, kecewa, atau terkadang kehilangan gairah hidup.
Jumlah rupiah yang ada di dompet dan besarnya simpanan uang di bank, rumah yang
indah, ladang yang luas, tidak membuat hidup kita berbahagia akibat dosa yang
kita lakukan. Itulah efek dosa.
Sebaliknya, kita terkadang
mendapati hidup yang penuh ketenteraman, bahagia —meskipun kata orang kita
hanya `cukup hidup dengan nasi dan garam'—tetapi hal itu tidak mengurangi rasa
senang, tenteram, dan bahagia yang ada di hati kita. Hidup pun penuh optimisme.
Hal ini merupakan buah rasa syukur kita terhadap karunia Allah yang yang telah
kita peroleh. Kemudian kita telah berupaya dengan sekuat tenaga menjauhi
perbuatan dosa dan maksiat. Kita berjalan di atas jalan keridhaan-Nya.
Dampak-dampak dosa dan
pahala sangat riil dalam hidup. Pahala dan dosa bukan sekadar kalimat berita,
tapi hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan kita, senang-susah, bahagia
atau menderita.
Allah Swt berfirman: “Barang siapa mengerjakan perbuatan
baik walapun sebesar zarrah, niscaya Ia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan perbuatan jahat meskipun seberat zarrah, niscaya Ia akan
melihatnya”. (QS Al-Zal-zalah:7-8)
Dalam keterangan salah
satu hadits disebutkan bahwa raut wajah para pendosa akan diselimuti kabut
hitam, sehingga pandangannya tidak bercahaya. Tak ada kesejukan manakala orang
memandangnya.
Suatu saat dijumpai
seorang yang dalam hidupnya melulu diwarnai kesenangan. Setiap hari tempat
parkirnya di diskotik, minumannya arak, makanannya barang haram, teman-temannya
para perampok, dan hiburannya wanita pelacur. Suatu saat ketika ajal akan
datang menjemputnya, ia kembali ke kampung halaman. Masyarakat desa yang tidak
tahu-menahu perilaku si Fulan ketika di negeri rantau, heran melihat tabiat
mengenaskan si Fulan.
Di antara rasa sakitnya di
pembaringan, ia menangis sejadi-jadinya sambil bersumpah-serapah. Puluhan orang
yang melayat kewalahan memegangi tubuhnya yang meronta-ronta dengan hebat.
Tangisnya melolong-lolong, diiringi teriakan minta ampun. Setelah dengan susah
payah para pelayat memegangi dan menenangkan, akhirnya si Fulan berangkat ke
alam baka dengan tatapan mata menyeramkan. Naudzubillah!
Pada saat yang lain, kita
dapati si shalih dalam suasana yang berbeda. Detik-detik menjelang akhir
hayatnya (mutadhor), dengan sabar dia mengikuti talkin yang dibacakan ke dalam telinganya.
Raut mukanya cerah. Dari celah bibirnya selalu terucap kalimat istighfar dan
kalimat tauhid, “La ilaha illah”.
Pada saat-saat terakhir
hidupnya ia rasakan akan tiba, segera dikumpulkan segenap anggota keluarga dan
diwasiatkan untuk senantiasa mentaati perintah agama, tidak saling bermusuhan
satu sama lain. Kemudian dengan damai ia kembali ke haribaan Illahi Rabbi
dengan penuh ikhlas. Wajah jasad itupun tampak berseri-seri di tinggal roh yang
selama ini bersemayam dalam dirinya. Ia pergi dengan khusnul khatimah.
Memohon ampun dan bertaubat
Selagi nafas kita masih
ada, pintu ampunan Tuhan dibuka seluas langit dan bumi. Allah Swt berfirman,
“Bersegeralah memohon ampunan dari Tuhanmu, dan mohon surga
yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang yang bertaqwa”. (QS Ali Imran: 133)
“Kepunyaan Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi.
Diampuni-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, dan disiksa siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Ali Imran: 129)
Memohon ampun dan
bertaubat hendaknya tidak dilakukan dengan main-main atau setengah-setengah.
Setengahnya insyaf, setengahnya lagi ingin kembali ke pekerjaan lamanya. Ini
sama halnya dengan membiarkan benih penyakit jahat tumbuh kembali dalam diri.
Bagi orang yang bertaubat mesti menanamkan niat yang kuat dalam dirinya untuk
meninggalkan pekerjaan keliru sejauh-jauhnya. Tutup rapat-rapat lembaran hitam itu
dan jangan coba membukanya kembali.
Taubatan nashuha (taubat yang
baik) laksana seseorang membuang kotoran yang keluar dari perutnya sendiri.
Kendati dia tahu persis asal muasal kotoran itu berasal dari makanan yang enak,
tetapi setelah berbentuk kotoran ia tidak akan mau melihatnya lagi apalagi
disuruh untuk (maaf) memeganginya. Ia bahkan berusaha menjauhi sejauh-jauhnya.
Menengokpun tak sudi lagi.
Di samping itu, harus
benar-benar bersih, ingin kembali ke jalan lurus yang diridhai Allah. Tidak
terpengaruh unsur-unsur lingkungan atau fisik. Seorang pelacur yang
sudah renta, kemampuan badaniahnya lemah, wajah tidak lagi menarik, yang ingin
bertaubat tetapi dalam hatinya masih tertanam keinginan ke sana, taubat yang
seperti ini masih dinodai oleh kotoran. Ibaratnya, kaki kanan ingin melangkah
ke surga sedang kaki kirinya tetap berdiam di neraka. Taubat seperti ini adalah
taubat yang menggantung, yang urusannya hanya Allah Yang Mahatahu.
Agar kita selamat,
Rasululah menuntun kita untuk selalu mengoreksi diri dengan beristighfar setiap
saat. Beliau saw mengajarkan, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tak ada Tuhan
kecuali Engkau yang telah menjadikan aku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku
tidak punya kemampuan untuk melaksanakan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu
dari keburukan/kejahatan yang telah aku lakukan. Aku mengakui kepada-Mu atas
nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui pula terhadap
dosa-dosaku. Maka ampunilah aku (ya Allah), sesungguhnya tak ada yang dapat
memberi ampunan kecuali Engkau”. (HR Bukhari dari Syaddad bin Aus ra)
Syekh Imam Nawawi
berkata,” Siapa yang mengucapkan sayyidul istighfar ini di waktu siang dengan
yakin, bila dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia adalah ahli
surga. Siapa yang mengucapkannya di waktu malam sebelum waktu Shubuh, lalu
meninggal dunia pada malam itu, maka dia adalah ahli surga.”
Wallahu a'lam bish-shawab
ConversionConversion EmoticonEmoticon