LAA ILAAHA ILLALLAH


Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah
(Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami
makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami
maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan
suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh
Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah
di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna
Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan
pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti
itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi
mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. "
[Luqman : 25].

Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan
bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman
bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini
bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini
yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada
Allah melalui firman-Nya :

"Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata)
: 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].

Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah
mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah
Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan
kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta
dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah
kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah,
meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa
Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim
secara lafazh dan secara lahir.

Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan
tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna
Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi
Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara
lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka
orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:

"Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan
dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan
mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya,
dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]

Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku,
yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah
lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang
pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini,
karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah,
tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang
ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan :
'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya-
maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah,
berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat
dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan
para pengikut thariqah lainnya, berhaji ke tempat pekuburan dan tempat
kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong)
kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih
adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum
muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid
ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci
konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan
semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan
perkataan kaum musyrikin, yaitu :

"Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]

Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai
kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama
sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah,
kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat
thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia
apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah
mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk
Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4)
dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].

Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas
dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih
dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah
ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa
yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya,
sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya
manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di
dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di
bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali
apabila :

[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup
kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.

Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka
menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal
sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan
keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang
mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan
Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi,
tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah
mepersaksikannya dalam firman-Nya.

"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya
(Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah :
146 & Al-An'am : 20]

Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun !
Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah
(kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah
(pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi
dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman
dalam Al-Qur'an :

"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].

Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah
dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap
kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga
apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk
mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam
hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :

"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat
baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh
Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan
kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah
(5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi
penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar
tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah
ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat,
akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa
yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati
-dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal
ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini
adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan
khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia
masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan
yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat
thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan
kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
yaitu :

Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini
akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits
Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan
beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim
dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia
dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami
maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka
ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat,
meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah
naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada
semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara
hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh
atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat
yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di
seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah
turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah
mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali
memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia
TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]
Previous
Next Post »